9 Bersaudara

Asral Huda, Asril Hadi, Yasri Azmi, Fauzan Azmi, Hamdan Azmi, Faisal Azmi, Ikhwan Azmi, Rahmiwati Azmi, Iqbal Azmi

Anak-anak ku

Muhammad Rafif, Fadhlurrahman Ariq, Hadaya Yumna Tsabitah

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 31 Oktober 2012

Separuh Jiwa Ikut Bersamamu ...



Siang hampir berujung.
Senjapun akan menghantar kepangkuanku.
Aku masih setia duduk menanti dikaki langit.
Tak terhitung berapa lama kutermenung.

Ingatanku terusik hadir bayanganmu.
Jiwa meronta menahan ego.
Ingin kupertahankan sukma ini.
Mengenang saat bahagia menyentuhku.

Separuh jiwaku ikut bersamamu.
Tinggalkan aku dalam duka bukan hendakmu.
Kini aku hanya bisa menghitung hari.
Mengenangmu dengan setia tak berubah.

Entah mengapa jiwa ini bimbang.
Ada hambar mengusikku.
Cemburu pun kian memburu.

Hanya satu inginku sebelum kau pergi.
Beri aku kebenaran yang nyata.
Apa benar dihatimu sudah tak ada namaku.
Apa benar cintaku tak mampu membuatmu bahagia.

Senin, 01 Oktober 2012

Untukmu yang disana

Bila bibir ini bagai pedang yang melukaimu
Teriris kata-kata yg membuatmu jemu
Tersayat luka bak sembilu
Biarlah ku jawab pada sang waktu
"Aku menunggumu di setiap malamku"
Hingga akhirnya datang masa mengingatkanmu,

Bahwa………..

Sesungguhnya masih ada aku di sini yang menantimu
Masih ada aku yang masih menyayangimu
Masih terukir janji yang selalu ada untuk kamu
Untuk berpegang pada satu hati
Untuk tidak menduakan hatimu

Tuhan...
Kembalikanlah dia ...
Karna ku ingin memeluknya pada sisa akhir hidupku



Kamis, 27 September 2012

Dalam Tangisku

Saat air bening itu menetes di antara pipi
Perlahan seperti menyayat perasaan
Mengalir disetiap luka yang tertumpah

Ya Allah...
Dalam Heningnya malam ini
Berilah aku kekuatan

Biarkan hangatanya menyentuh raga
Membuka pintu, menebar lembutnya kalbu

Jadikan tetesnya untuk lebur kan kerasnya ego
Lunturkan amarah dan emosi dalam jiwa

Membuka tabir keangkuhan
Sadarkan aku pada kuasa-Mu atas hidup

Biarkan aku tetap menangis.
Hingga kelak aku mengerti.
semua kepedihan ini…
semua luka ini…
semua derita ini…

Datang karna kehendak-Mu
Akan kembali hilang atas ridho-Mu

Meski Hanya Bayangan

Aku hanya bayanganmu
Di sisimu setiap waktu
Tanpa aku bisa menyentuhmu
Namun ku hanya bisa memandangimu

Ku hanya meminta bukalah mata hatimu
Tuk melihat tulusnya kasih
Cinta yang tumbuh dalam jiwa
Cobalah kau merasakannya

Ku hanya meminta bukalah pikiranmu
Coba mengerti isi hati
Coba pahami arti kehadiran
Hingga kau teguhkan cinta di hatimu

Aku ingin bersamamu
dengan segala kekurangan dan keterbatasan dalam hidupku

Aku ingin di sisimu
dengan air mata dalam kepedihan luka di hatimu

Aku ingin menemanimu
dalam setiap jengkal langkah yang penuh duri

Aku ingin kau tetap di sampingku
meski ku tak dapat menjajikan sesuatu yang sempurna dalam hidupmu

Aku tak ingin meninggalkanmu
dalam dekapan luka yang ku toreh saat khilafku menyakitimu

Minggu, 19 Februari 2012

CARUIK

Oleh : Nurjannah Binti Zakaria Balikpapan
Tahun 1987…
            Senja menjelang, di Pasar Raya Padang. Aku tergesa menarik karung yang berisi pisang batu.Terseret-seret langkahku menuju mikrolet diantara orang-orang yang basigageh (berpacu) naik mikrolet yang akan mengantar badan penat menuju rumah. Dua karung pisang berhasil kunaikkan dengan bantuan bapak berkaca mata.
Karena keras hati, aku harus melakoni hidup yang berat ini. Aku menikah dini. Aku ingin memperlihatkan pada semua orang bahwa umur boleh dini tapi kematanganku jangan diragukan, Aku sedikit kecewa dengan suami yang umurnya 4 tahun lebih tua tidak siap mencari nafkah. Dia hanya punya idealisme. Pacaran haram maka kalau ingin bercinta menikah segera. Cocok dengan prinsipku.
“Besok aja beli pisangnya, Uda mau istirahat,” katanya tadi siang.
“Kalau besok dibeli, kapan membuat kripiknya, pagi kita sama-sama ada jam kuliah,” nadaku meninggi, Dengan marah aku berpakaian dan mengenakan jilbab.
“Biar aku yang beli, kalau dituruikkan gaya karajo uda ndak makan awak doh,(kalau dikuti gaya kerja Uda kita nggak bisa makan) awak bukan pegawai negeri seperti orang tuo Uda, karajo satangah hari dapek gaji tiok bulan.”
Pertikaian tadi membawaku ke Pasar Raya Padang yang sesak, dari tempat kos di Air Tawar. Ah, aku duduk dengan lelah yang merajam.
            Sambil menunggu mikrolet penuh dengan penumpang, aku mengeluarkan buku dari tas. Membaca, hobiku dalam mengisi waktu di mana saja. Aku tenggelam dalam bacaan melupakan kepenatan, kegalauan dan keramaian pasar yang menyesak. Bau keringat, bau rokok dan bau sampah tak lagi menggangu hidungku, karena begitu hanyutnya aku dalam bacaan.
            Namun keasyikanku terusik dengan naiknya 2 orang pemuda bersungut-sungut sambil mengelus pipi masing-masing. Ternyata saking asyiknya aku hanyut dalam cerita yang kubaca, membuatku tak sadar ada cerita nyata yang terangkai di hadapan mata, hah.
“Masak awak mengucapkan terimakasih muka awak pulak yang di tampar, sambil marah-marah lagi, apa pulak salah awak ni?” Pemuda yang kuduga berasal dari Medan bicara sama temannya yang ku perkirakan dari Jawa.
“Ya, aku juga dapat bagian, aku cuma mau jelaskan maksud kamu itu mau ucapkan ‘matur nuwun’ ya kan.”
Oi Yuang, baa kok rang gaek tu waang pacaruik an, baa ndak tabik suga Tek Biah tu?.” (Oi nak, mengapa orang tua kamu kasih perkataan kotor, bagaimana tidak naik darah Tek Biah itu?) Laki-laki kurus yang baru naik langsung ngomong pada dua pemuda tersebut.
“Apo yang di sabuik dek anak-anak ko Mak Inggi?” Uni yang di sudut bertanya pada laki-laki kurus tersebut.
 Laki-laki yang disebut Mak Inggi (Paman yang tinggi) tersebut menerangkan, kedua pemuda tersebut mau membeli rambutan sama Tek Biah yang harganya Rp.10.000.00 se kilo, pemuda menawar kalau 2 kilo bisa Rp.15.000.00. Tek Biah mau, langsung menimbang, dan memasukkan dalam kantong asoy, segera memberikan pada pemuda tersebut. Setelah pemuda itu menerima….
“Kan ciang kau Mak.” Mandanga tu Tek Rabiah langsuang naik darah, bergegas dia keluar dari belakang meja tempat jualan mendekati pemuda tersebut sambil menceracau.”Apo kato Ang Yuang lah den agiah murah, Ang pacaruik an den,” ‘PLAKK’ tamparan mendarat di muka orang Medan. Temannya membela dengan maksud menjelaskan, tapi yang terdengar di telinga Tek Rabiah, Senewen Mak, maka tak ampun tamparan Tek Biah beralih ke pemuda Jawa tersebut.
            Pemuda Medan pun menerangkan kalau dia diajarkan oleh temannya urang awak,” Kalau jadi Mahasiswa disini harus sopan, harus sering mengucapkan terimakasih. Orang Minang itu asal muasalnya dari Cina, lihat saja pakaian pengantennya mirip dengan Cina begitu juga dengan ilmu bela dirinya. Nah bahasa pun ada mirip-mirip. Kalau orang Cina mengucapkan ‘Terima kasih’ dengan ucapan ‘Kam sia’ maka orang Minang mengucapkan ‘Kan ciang’ makanya tadi…”
“Ha…ha…ha…,dikarajoan nyo dek kawannyo,” pemuda itu melongo, semua penumpang mikrolet tertawa terbahak-bahak, tanpa terkecuali Pak sopir di depan setir, bahkan ada yang sampai keluar air mata menertawakannya. Aku tersenyum geli, tapi juga kasihan dengan keluguan orang Medan ini.
“Bang, kata-kata itu bukan terimakasih artinya, melainkan…”aku ragu-ragu melanjutkan.
“Apa dek? Tolong lah aku,” ucapnya penuh harap.
“Tapi Abang  jangan marah ya?”
“Nggak lah, kamu sudah menolong masak aku marah.”
“Arti kata tersebut dalam Bahasa Medan adalah ‘Puki Mak Kau’ maaf.”aku menutup mulut.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah,” pemuda itu istghfar, aku pun ikut istighfar.
“Kurang ajar si Bahar, ngajari aku yang tidak benar, perkataan kotor yang diajarkan padaku, pantas saja Mak tadi naik pitam, awas besok di kampus. Kukira dia benar-benar mengajari aku Bahasa Minang yang benar,  tapi malah aku di jahili.” Pemuda Medan menggerutu.
“Makanya pakai Bahasa Indonesia saja dulu kalau belum lama tinggal di Minang, karena orang Minang lebih mudah berbahasa Indonesia, karena kata-kata Minang sangat mirip dengan kata Indonesia.” Uni yang berbaju pink di sebelah Mas Jawa ikut berpendapat.
“Misalnya apa Uni?” Si Mas menanyakan contohnya.
“Seperti kata yang kalian ucapkan tadi, dalam Bahasa Indonesia adalah kencing, kencing itu kotor kan? Makanya kalau di ungkapkan dalam percakapan termasuk perkataan caruik atau perkataan kotor.”
“Oh gitu ya Ni,” si Mas dan si Abang mengangguk-angguk seperti burung perkutut.
            Karena peristiwa itu aku jadi  ngobrol kian kemari. Pemuda Medan itu bernama Togar, yang dari Jawa bernama Tejo. Bang Togar dan Mas Tejo ternyata kosnya beda satu gang dengan kosku. Mereka mahasiswa Fakultas Pertanian Unand. Bersebelahan dengan kampusku, IKIP Padang. Kampus kami berada di Air Tawar, kami kos di dekat kampus.
“Eh…eh…siko ciek,” aku sedikit berteriak kepada Pak sopir,  hampir saja terlewat karena asyik ngobrol. Kami merasa senasib karena sama-sama Mahasiswa baru. Kami pun turun dari mikrolet, mengangkat dua karung pisang.
            Mataku sibuk mencari ke kiri-ke kanan dan ke seberang  jalan. Biasanya ada becak di persimpangan jalan ini. Aku tidak kuat membawa dua karung pisang ini ke rumah kos yang lumayan jauh dari jalan raya. Aku duduk di atas karung pisang yang kurebahkan di pinggir jalan. Aku menunggu becak. Aku nggak punya HP untuk menelpon Uda di rumah.
“Hey Ma, kau nggak pulang?” Bang Togar bertanya karena melihat aku duduk saja.
“Duluan aja Bang, Mas, aku menunggu becak.”
“Mana tega Aku meninggalkan gadis manis sendirian di tempat gelap begini.”
“Kita panggul aja karung pisangnya, bagaimana Jo, kamu kuat ya membantu Rahma sampai tempat kosnya.
“Ayo, Insya allah aku kuat Bang, hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih kita dapat teman orang Minang yang baik hati seperti Dik Rahma ini.” Mas Tejo menyanggupi. Mereka langsung mengambil alih masing-masing satu karung pisang dan memanggulnya.
“Bang, Mas istirahat dulu, berat lho.” Aku kasihan melihat mereka berdua berkeringat.
“Ah tanggung, sedikit lagi kan sudah sampai di rumah kau Ma, dan aku bayangkan kau akan sibuk melap keringat Abang kau ni.”
“Ah Abang,  mana bisa begitu. Aku kan sudah punya suami.”
“Jangan bohong pulak kau Ma, kau masih imut begini bilang sudah punya suami. Kalau mau menolak cintaku jangan begitu caranya.” Bang Togar menembakku langsung diantara engahnya.
“Abang kok nggak percaya sih.”
“Coba Tanya si Tejo, dia bisa percaya ndak dengan pengakuan kau itu.” Mataku beralih ke Mas Tejo, yang kelihatan kepayahan memanggul karung pisangku.
“Aku belum bisa percaya Dik, kalau belum lihat suamimu. Kamu masih terlalu imut sih, kita kan sama-sama baru tamat SMA. Kapan kamu nikahnya?”
            Kami berjalan dalam diam, hanyut dengan pikiran masing-masing. Bagaimana perasaan Uda Amri nanti kalau melihat aku diantar 2 anak bujang (pemuda). Apakah dia akan marah? Cemburu? Atau malu, karena membiarkan isterinya yang ke pasar belanja 2 karung pisang yang tentunya sangat berat, bagaimana kalau tidak ada Bang Togar dan Mas Tejo tentu aku masih duduk menunggu becak di pinggir jalan dalam kegelapan. Kami sudah memasuki gang rumahku.
“Belok sini Bang, aku mendahului membuka pagar rumah petak kami.”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Uda Amri membuka pintu lebar-lebar dan kaget ketika matanya bersirobok (bersitatap) dengan dua orang pemuda di belakangku.
“Ini Bang Togar, dan Mas Tejo, Da. Tadi ndak ado becak, jadi Rahma ditolong mereka berdua, mereka kos  di jalan Blang Bintang, tolong layani mereka Rahma ka dalam dulu.”
Aku langsung ke belakang menyiapkan minuman dan makanan untuk penolongku. Aku bolak balik menghidangkan makan malam untuk mereka. Setelah lengkap mereka kupersilahkan makan bersama Uda Amri. Aku kembali ke belakang  membungkus kripik pisang dan peyek kacang untuk mereka bawa ke kosan mereka. Anak kos pasti senang mendapat camilan seperti ini untuk teman belajar. Oh ya aku masih punya simpanan rendang, kubungkus jugalah agar mereka sekali-sekali makan enak, samba lado hijau ku panasi sebentar baru di bungkus. Ku dengar tawa Uda Amri sambil terbatuk-batuk. Aku yakin Bang Tagor cerita peristiwa tadi. Aku keluar sambil membawa dua bungkus plastik besar untuk mereka.
“Bang, Mas, ni oleh-oleh dari kami ya. Nah kalau Abang dan Mas bisa promosikan produk kami ini ke teman-teman nanti kami kasih 20% lah untungnya. Lumayan kan, untuk menambah uang saku? Ya kan  Da?” Aku mengerling Uda Amri.
“Ya sayang.” Ku rasa jemariku diremas lembut dan mata itu penuh cinta untukku.
“Oi …,jangan bermesraan dekat kami lah, aku patah hati ni Da.” Seloroh Bang Togar.
“Kami pamit pulang ya Da, Dik Rahma. Terimakasih pemberiannya, dan peluang usahanya  tidak akan kami sia-siakan.” Mas Tejo pamit.
“Hey Ma, bagaimana pun keadaanmu aku tetap mencintaimu.” Bang Togar ngotot
            Tangan Uda Amri mengejang  dalam genggamanku, dia cemburu berat dengan gaya Bang Togar yang blak-blakan. Aku memberi  isyarat menenangkan suami tercinta. Sementara itu Bang Togar tersenyum menggoda melihat perubahan  wajah Uda Amri.
“Yalah Bang, aku pun mencintai Bang Togar dan Mas Tejo sebagai saudara seiman, kita bercinta tulus karena Allah.” Aku membalas humor Bang Togar dengan senyum manis.
“Yo i, terimakasih Rahma, Uda. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”
 Uda Amri menutup pintu dan langsung menguncinya. Tangan kekarnya memelukku dari belakang. “Ada saja cara Allah untuk memberi kita saudara ya Ma, melalui caruik yang tidak dimengerti kita dapat dua orang saudara yang sangat mencintaimu, sayang” suara Uda Amri menggeram, penuh tekanan, bulu kuduk Rahma merinding. Uda Amri marah. Rahma kaget langsung membalikkan badannya dalam rangkulan Amri.
“Udaaa?” Rahma menatap tepat ke kedalaman mata Amri, disana dilihatnya danau bening dengan riak-riak jenaka, memanggil Rahma untuk berenang dalam palunan kasih. Mata Rahma menelusuri hidung Amri yang mancung, terus ke bawah menemukan bibir merah muda yang melengkung ke atas, siap meledakkan tawa.
“Ah…Uda, membuat orang takut saja.” Rahma mencubit pinggang suaminya dengan manja.
“Aduuuh!” Ha…ha…ha.                                                                                                       

OH TABUNGANKU

Oleh : Nurjannah Binti Zakaria Balikpapan.
Panas menyengat tak kuhiraukan, aku masih asyik memasukkan tambang emasku ke dalam karung. Ha ha tambang emas kok ke dalam karung. Yah bagiku dan teman seprofesi melihat tumpukan sampah adalah tambang emas. Botol plastik, gelas plastik, kardus kami dulang setiap hari untuk menghasilkan lembaran seribu demi seribu. Aku ingin terus sekolah hanya itu motivasiku.
            Alhamdulillah, hasil tambangku hari ini lumayan, karungku sudah penuh. Aku segera menuju ke rumah Bang Juned, aku akan dapat uang Rp.2000 atau Rp.2500, wah tabunganku akan bertambah terus. Kalau aku rajin setiap pulang sekolah siang hari dan sepulang ngaji sore, aku yakin uang untuk sekolah di SMP bisa ku dapatkan.
            Sekarang sekolah kan gratis. Ya, tapi seragam, sepatu, buku dan tas tidak gratis. Pernah ku dengar ibu-ibu tetangga ngomong, paling tidak untuk anak baru masuk sekolah butuh uang minimal Rp.1,000.000, uang satu juta itu kayak apa ya.
“Ah masak kamu gak tahu, lembaran seratus ribunya ada 10, atau lembaran lima puluh ribunya ada 20, De…De… kamu kan udah kelas VI, masak gitu aja gak tahu,” kata Bagas ketika itu.
“Oh ya kok bodoh aku ya Gas,” aku tersenyum kecut. Ketika itu aku dan Bagas membahas soal-soal ujian tahun lalu yang diberi ibu guru untuk melatih kami agar ketika ujian kami tidak bingung. Bagiku uang Rp.50.000 masih langka. Ibuku buruh cuci harian. Sehari Ibu dapat Rp.15.000 sampai Rp.20.000, itupun kalau ada yang butuh tenaga Ibu. Kalau tidak yah kami harus menahan lapar. Ayah…? aku tidak mengenal sosoknya.
“Hai De, cepat bawa sini karungnya mau di timbang nggak,” suara Bang Juned mengejutkanku.
Aku segera menghampiri Bang Juned. Bang Juned menukar karungku dengan karung kosong dan uang Rp.2500. Alhamdulillah kalau nanti sore aku dapat seperti ini lagi tabunganku semakin banyak.
 Aku nggak pulang ke rumah karena aku sudah janji untuk belajar di rumah Bagas. Ujian Nasional semakin dekat. Aku harus rajin belajar, agar dapat nilai bagus dan masuk SMP Negeri. Alhamdulillah pemerintah menyediakan sekolah gratis. Kalau nggak tentu aku nggak bisa sekolah.
            Tadi pagi aku sudah bilang pada Ibu bahwa aku akan belajar di rumah Bagas langsung ngaji di musholla terus bekerja lagi mengais rezeki untuk menambah tabunganku.
 Hanya Bagas yang mau berteman denganku di sekolah. Karena kata mereka aku bau. Yah aku memang bau, aroma sampah lengket di badanku. Kadang di rumahku gak ada air, karena beberapa bulan ini air di komplek kami sering mati dan ibu gak sanggup beli air tanki. Jadi kadang dalam sehari aku nggak mandi. Lengkap sudah penderitaanku, aku tercemar bau sampah. karena aku bekerja di tempat sampah, terus nggak mandi pula iih bau banget.
“Ih jijay…,”  teman-temanku pada menghindar sambil tutup hidung.
 Hanya Bagas yang tahan dekat denganku. Kalau aku di ajak belajar ke rumahnya, hm bagiku itu nikmat yang sangat luar biasa. Bayangkan …,kalau aku di rumah Bagas aku di suruh mandi, lalu dipinjami baju yang sangat wangi, terus aku dikasih makan pula.
 Subhanallah hanya Allah yang bisa mambalas kebaikan Bagas sekeluarga padaku. Mereka bukan orang kaya, tapi mereka kaya hati. Dalam kesederhanaan pun mereka bisa berbagi padaku. Dari tempat Bang Juned aku melangkah dengan semangat menuju rumah Bagas.
Wangi melati yang merimbun di pagar rumah Bagas, ditingkahi keindahan mawar dengan aroma menggoda, bougenvil yang ditata seperti layaknya pengawal, tegak perkasa di kiri kanan teras menyambut kedatanganku, pintu kuketuk.
”Assalamu’alaikum,“ aku menunggu sambil memenuhi rongga dada dengan udara segar.    “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, eh kamu De…Ayo masuk,” Bagas membuka pintu lebar-lebar, langsung menuju ruang tengah. Aku menutup pintu kembali dan mengekor di belakang Bagas. Bagas langsung membuka soal –soal ujian tahun lalu, soal pelajaran Agama Islam.
”De,  bisakah kamu menerangkan bukti kegigihan kaum Muhajirin.”
“Insya Allah, gini Gas…Kaum Muhajirin adalah umat Islam pertama yang kuat imannya, mereka rela meninggalkan kampung halamannya, semua harta kekayaan dan semua kepentingan mereka dengan ikhlas, demi keyakinan aqidahnya, mereka tidak menghiraukan ancaman yang mungkin menghadang di tengah jalan karena keimanan mereka yang teguh.”
Bagas mendengarkan dan menulis jawabannya di buku. Dia membalik kertas soal yang tidak bisa dijawabnya sendiri.
“Soal selanjutnya, Apa yang dikerjakan kaum Anshor dan Muhajirin setelah hidup bersama di Madinah?”
Aku mencoba mengingat-ingat keterangan Pak Sahid, guru Agama kami. Ha …aku ingat. “Pertama membangun masjid, terus menjamin kemerdekaan beragama, mengadakan perjanjian persahabatan dengan kaum Yahudi, dan menyusun pemerintahan.”
Kami terus membahas soal demi soal, tenggelam dengan asyik mengerjakannya tanpa menyadari kedatangan Bu Ani ibunya Bagas. Beliau membawa 2 gelas es sirop dan kue.
“Silahkan minum De, cicipi kuenya. Kuenya Ibu buat sendiri lho.” Aku mengerling Bagas.
“Terimakasih Bu, tambah semangat kita belajar nih Bu.” Aku segera meraih sirop langsung minum dengan nikmat. Bu Ani tersenyum dan berlalu ke dapur. Bagas juga meraih minumannya.   
Kami kembali melanjutkan belajar, tanpa terasa waktu berlalu sayup-sayup terdengar azan Asar. Aku pun bergegas membereskan buku dan pamit ke Bagas dan Ibunya karena aku harus mengaji di Musholla Al Ihsan di komplek rumahku.
            Sepulang mengaji di musholla aku siap mengais rezeki, berkeliling komplek mencari botol plastik yang berserakan, kertas, kardus-kardus. Hari ini aku bertekad aku tidak akan pulang sebelum karungku penuh. Mataku selalu awas kiri kanan. Tak boleh satu gelas aqua pun yang luput dari incaranku.ketelitianku menentukan masa depanku. (ceilah)
            Kaki lelahku mendekati rumah, diiringi azan magrib. Pintu rumahku masih terbuka. Aku bengong, rumahku kok apik ya. Kok ada karpet terbentang menutupi lantai kasar rumahku. “Assalamu’alaikum,”ucapku dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya.
“Wa’alaikum salam,” Ibu menjawab dengan tanganya masih sibuk mencuci piring. 
“Makan dulu aja ya De, agar sekalian selesai  beres-beresnya.”
“Habis pesta ya Bu?” mataku terbelalak melihat hidangan yang lengkap lauk pauknya dan ada 2 jenis kue kesukaanku, ote-ote (bakwan atau bala-bala) dan dadar gulung.
“Bukan pesta tapi yasinan,” jawab ibu tanpa menghentikan tarian jemarinya di piring-piring kotor.
Aku langsung melahap ote-ote sambil menyendok nasi ke piring, mencomot ayam goreng dan tahu bacem, serta menuang sayur gori ke piringku, tak ketinggalan kerupuk udang kuambil dengan rakus, lengkap kap kap, aku pun makan dengan sangat nikmat, dan penuh rasa syukur. Selesai makan aku langsung sholat magrib, kali ini aku nggak ke musholla. Terlambat.
“Bu, tabunganku ibu pindahkan ya?”, aku bertanya sambil terus mencari mungkin tadi aku lupa menarok di tempat biasa.
Aku berjongkok mencari di bawah lemari, mungkin saja jatuh, nggak ada. Aku menyuruk ke kolong tempat tidur, merangkak dari pojok ke pojok yang penuh debu, nggak ada juga. Tanganku menyeka keringat yang bercampur debu, keluar dari kolong.
Kelelahanku terasa memuncak karena dari pagi belum istirahat sedikit pun. Semangatku yang membuncah untuk mengumpulkan ribuan demi ribuan. Satu juta … mampukah tangan kecilku ini mengumpulkan uang sebanyak itu. Ku sandarkan punggung ke dinding kasar rumahku.
Aku tak habis pikir, kok bisa hilang ya tabunganku, padahal tadi pagi aku masih mengusap tabunganku sambil berdoa pada Allah, ”Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk memulung segala macam plastik dan kertas kardus agar bisa ditukar dengan uang yang akan hamba kumpulkan untuk biaya sekolah SMP nantinya, hamba yakin Engkau akan mengabulkan. Karena tujuan hamba mulia, menuntut ilmu adalah perintahMu.”
 Ibu yang dari tadi tidak merespon pertanyaanku, karena masih sibuk membenahi dapur dan menunaikan shalat magrib yang sudah sangat terlambat, sekarang duduk di sampingku dengan mukena masih terpasang. Mungkin tanggung untuk di buka karena sebentaar lagi azan Isya akan berkumandang. Ku rasa tangan ibu memegang pundakku.
 ”Maaf ya De, uang tabungan Dede ibu pinjam untuk Yasinan tadi,…nanti ibu ganti kalau ibu punya uang.”
“Apaaa? Tabungan yang kukumpul sejak naik kelas V tahun lalu habis dalam satu hari  ?”
Perutku rasanya diremas-remas, kepalaku rasanya di himpit batu-batu besar, airmataku berpacu, berlompatan  keluar tak terbendung.
“Bu, aku mau berlelah-lelah mengais sampah agar bisa  mengumpulkan selembar demi selembar uang ribuan hanya karena aku ingin tetap sekolah, aku tidak ingin memberatkan Ibu yang sudah susah payah bekerja untuk sesuap nasi, tidak banyak keinginanku , kalau aku berilmu aku bisa kerja yang bisa menghasilkan uang yang banyak dan aku bisa menyenangkan Ibu nantinya, aku ingin berbakti Bu,” ratap panjangku menggugat Ibu.
“Bu, kapan Ibu bisa mengganti tabunganku Bu?  padahal untuk makan aja Ibu sudah susah payah mendapatkannya,” pertanyaanku menyangsikan kemampuan ibu.
 ”Bulan depan aku sudah ujian Buu, setelah itu harus mendaftar  supaya dapat sekolah di SMP, apakah Ibu bisa mendapat uang Rp.1.000.000.00, dalam waktu sebulan setengah ini Buu,”aku terus menceracau dan tergugu.
 Aku tak bisa menahan air yang berlompatan, membanjir dengan derasnya membobol asa yang menjulang. Terngiang  di telingaku kembali ceramah Ustadzah Hasanah  sa’at Ta’lim di Musholla Al Ihsan.
“ Yasinan itu tidak wajib bahkan cenderung haram karena adab baca Al qurannya tidak benar, berpacu membaca bersama tanpa peduli panjang pendek, tanpa peduli salah betul, padahal yang diperintah Allah adalah membaca Alquran dengan tartil, benar tajwid dan makhrojnya begitu juga selamatan, nujuh bulanan bahkan perayaan maulied Nabi pun tidak ada perintahnya dalam ajaran Islam.”
 Saat itu  Ustadzah Hasanah juga menerangkan bahwa peringatan Maulid Nabi itu pencetusnya adalah kelompok bathiniyah yang berkedok Fatimiyun dengan pemimpinnya ‘Ubaidilah bin Maimun Alqodah, Majusi yang ingin merusak Islam dari dalam.
Mengapa bisa merusak? Karena kalau Umat Islam sibuk dengan perayaan-perayaan maka mereka lalai dengan Ibadah yang sesungguhnya. Bahkan sebagian umat Islam yang Duafa akan terzalimi karena menganggap perayaan itu ibadah, mereka memaksakan diri. Apakah Ibu tidak ingat, padahal Ibu  hadir ta’lim saat itu.
“Mengapa Ibu mengorbankan masa depanku hanya untuk hal yang tidak diwajibkan Allah?” hujatku dengan ratap pilu, air mata telah membasahi baju lusuhku, perutku semakin mulas, makanan enak sekejap, bisa membuat masa depanku kelam,…buram, ooh kepalaku semakin sakiiit. Bagaimana caraku bisa mendapat uang sebanyak itu, dalam waktu yang sangat singkat ini. airmataku tidak bisa berhenti.
“Maafkan Ibu nak, Ibu gak enak sama tetangga, karena hanya Ibu yang belum dapat giliran di komplek kita ini, Ibu-Ibu lain ada yang sudah 3 kali bahkan ada yang sudah 4 kali ketempatan.
            Aku tak peduli dengan ungkapan maaf  Ibu yang diucapkan dengan bibir bergetar dan wajah pucat pasi, karena aku sudah tidak tahan dorongan dari perutku untuk memuntahkan semua isinya, uek..uek..ueek,…uueeeeek,…. semua makanan berhasil keluar dengan mulusnya sampai cairan kuning di lambungku pun ikut, menyisakan perih yang teramat sangat, tenggorokanku sakiiit sekali kulihat dinding kamar mandi berputar - putar dalam mata buramku semakin lama semakin kencang, auu …kepalaku, aku sempoyongan memegang kepala yang dipalu godam…duk kepalaku terbentur dinding dan tubuhku melorot.
“De...De...Deee, kamu kenapa nak?” terdengar suara panik ibu semakin sayup, semakin jauh, semakin hilang, semakin gelap. 

Selasa, 14 Februari 2012

Konflik Sosial Mengancam Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. 
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Kita dapat menyaksikan konflik atau kekerasan masa yang terjadi di Sidomulyo, Mesuji (Lampung), Bima (NTB), area pertambangan PT Freeport (Papua), dan terakhir aksi blokir  tol buruh di Bekasi, tak lain dan tak bukan adalah karena frustasi sosial atas kualitas pertumbuhan ekonomi (keuangan) yang hanya dinikmati segelintir elite. Sementara, rakyat semakin hidup sulit karena tidak mendapat manfaat apa-apa dari pertumbuhan itu.

Dampak konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara sadis atau penuh pertentangan bathin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting,  dll. Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi.

Konflik terjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satu-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu dilatar belakangi tujuan politik, ekonomi dan agama.
Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu:
1. Bersaing, tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak lain dalam suatu episode konflik.
2. Berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi semua pihak.
3. Mengindar, bilamana salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan dari atau menekan suatu konflik.
4. Mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan lawannya diatas kepentingannya.
5. Berkompromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing pihak dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya masing-masing.
Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salah paham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok oleh pihak-pihak yang berkonflik. 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More