Selasa, 07 Februari 2012

Ayo Berkompetisi Dalam Kebaikan!

DARI sekian banyak gelar yang Allah janjikan kepada orang-orang mukmin, salah satunya adalah gelar ‘Wali’. Namun menjadi “Wali Allah” bukanlah mimpi bagi mereka yang menghendakinya. Sebab, hal tersebut telah menjadi salah satu janji Allah kepada mereka yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan-Nya. Mafhum mukhlafah-nya, seseorang tidak akan pernah mampu menduduki derajat kewalian, manakala dia tidak pernah melakukan apa yang telah menjadi persyaratan-Nya itu.

Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan wali itu? menurut Yusuf bin Ismail al-Nabhani, dalam bukunya, “Mukjizat Para Wali Allah”(Terj), menjelaskan bahwa Al-Wali itu berarti yang ‘dekat’. Jika artinya adalah kemampuan seseorang agar memiliki kedekatan kepada Allah karena ketaatannya dan keikhlasannya, maka kita semua berhak menjadi “Wali Allah” dan akan senantiasa berusaha dekat kepada-Nya, dengan limpahan rahmat, keutamaan, dan kebaikkan, hingga mencapai jenjang Al-Wilayah (kewaliyan).

Jadi, standart yang menjadi acuan layak atau tidaknya seseorang menjadi Wali Allah yaitu ketaatannya. Sejauh mana dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, itu menjadi ukuran kelayakkannya.

Dalam hal ini, Allah pun telah berfirman di beberapa surat dari Al-Qur’an, “Allah adalah pelindung (wali) orang-orang yang beriman” (Al-Baqarah: 257). Di surat lain Dia juga berfirman, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung (maula) orang-orang yang beriman dan sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung” (Muhammad: 11).

Karena itu, besarnya keimanan seseorang lah yang menjadi barometer seseorang bisa menjadi Wali Allah. Ada pun keimanan, itu berkaitan erat dengan ketaatan. Sebab, makna iman sendiri adalah mempercayai dengan hati, mengikrarkannya dengan lisan, dan mengerjakannya dengan jelas, dan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Selain itu, dari sini bisa juga disimpulkan bahwa wali sama sekali bukanlah gelar yang disematkan oleh manusia sebagai penghormatannya terhadap tokoh tertentu. Bagaimanapun pakarnya dia dalam suatu bidang keilmuan, serta dinobatkan oleh seribu bahkan sejuta orang sekalipun sebagai wali, namun gerak-geriknya sama sekali tidak menunjukkan ketundukkan kepada Allah maka sedikit pun hal tersebut tidak mampu mengangkat ‘poin’nya ke derajat al-Wilayah (kewaliyan), maka dia bukanlah termasuk Wali Allah.
Seorang “wali” akan senantiasa terjaga dari keburukkan, karena Allah akan senantiasa memiliharanya, dan mengarahkannya kepada kebaikkan. Seorang “wali”, akan senantiasa merasa bahagia dalam kondisi apa pun, baik susah maupun senang. Karena dia memahami betul makna kebahagiaan dan sumbernya. 

Pribadi macam inilah yang akan memperoleh ‘singgasana’ kewalian. Jadi, mereka tidak akan pernah merasa sedih, karena janji Allah bagi mereka adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat, telah termaktub di dalam Al-Quran. Firman-Nya, “Ingatlah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (Yunus: 24-26).

Hidup adalah pilihan. Begitu pula terhadap janji Allah terhadap orang-orang yang akan diangkat ke derajat wali-Nya. Itu tergantung pada pilihan mereka. Allah telah menjabarkan akan perkara-perkara yang harus mereka tempuh agar mampu merengguh posisi tersebut. Namun, semuanya kembali kepada pribadi-pribadi mukmin itu sendiri. Apakah mereka mengindahkanya, atau mengabaikannya? (Al)


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More