Minggu, 19 Februari 2012

CARUIK

Oleh : Nurjannah Binti Zakaria Balikpapan
Tahun 1987…
            Senja menjelang, di Pasar Raya Padang. Aku tergesa menarik karung yang berisi pisang batu.Terseret-seret langkahku menuju mikrolet diantara orang-orang yang basigageh (berpacu) naik mikrolet yang akan mengantar badan penat menuju rumah. Dua karung pisang berhasil kunaikkan dengan bantuan bapak berkaca mata.
Karena keras hati, aku harus melakoni hidup yang berat ini. Aku menikah dini. Aku ingin memperlihatkan pada semua orang bahwa umur boleh dini tapi kematanganku jangan diragukan, Aku sedikit kecewa dengan suami yang umurnya 4 tahun lebih tua tidak siap mencari nafkah. Dia hanya punya idealisme. Pacaran haram maka kalau ingin bercinta menikah segera. Cocok dengan prinsipku.
“Besok aja beli pisangnya, Uda mau istirahat,” katanya tadi siang.
“Kalau besok dibeli, kapan membuat kripiknya, pagi kita sama-sama ada jam kuliah,” nadaku meninggi, Dengan marah aku berpakaian dan mengenakan jilbab.
“Biar aku yang beli, kalau dituruikkan gaya karajo uda ndak makan awak doh,(kalau dikuti gaya kerja Uda kita nggak bisa makan) awak bukan pegawai negeri seperti orang tuo Uda, karajo satangah hari dapek gaji tiok bulan.”
Pertikaian tadi membawaku ke Pasar Raya Padang yang sesak, dari tempat kos di Air Tawar. Ah, aku duduk dengan lelah yang merajam.
            Sambil menunggu mikrolet penuh dengan penumpang, aku mengeluarkan buku dari tas. Membaca, hobiku dalam mengisi waktu di mana saja. Aku tenggelam dalam bacaan melupakan kepenatan, kegalauan dan keramaian pasar yang menyesak. Bau keringat, bau rokok dan bau sampah tak lagi menggangu hidungku, karena begitu hanyutnya aku dalam bacaan.
            Namun keasyikanku terusik dengan naiknya 2 orang pemuda bersungut-sungut sambil mengelus pipi masing-masing. Ternyata saking asyiknya aku hanyut dalam cerita yang kubaca, membuatku tak sadar ada cerita nyata yang terangkai di hadapan mata, hah.
“Masak awak mengucapkan terimakasih muka awak pulak yang di tampar, sambil marah-marah lagi, apa pulak salah awak ni?” Pemuda yang kuduga berasal dari Medan bicara sama temannya yang ku perkirakan dari Jawa.
“Ya, aku juga dapat bagian, aku cuma mau jelaskan maksud kamu itu mau ucapkan ‘matur nuwun’ ya kan.”
Oi Yuang, baa kok rang gaek tu waang pacaruik an, baa ndak tabik suga Tek Biah tu?.” (Oi nak, mengapa orang tua kamu kasih perkataan kotor, bagaimana tidak naik darah Tek Biah itu?) Laki-laki kurus yang baru naik langsung ngomong pada dua pemuda tersebut.
“Apo yang di sabuik dek anak-anak ko Mak Inggi?” Uni yang di sudut bertanya pada laki-laki kurus tersebut.
 Laki-laki yang disebut Mak Inggi (Paman yang tinggi) tersebut menerangkan, kedua pemuda tersebut mau membeli rambutan sama Tek Biah yang harganya Rp.10.000.00 se kilo, pemuda menawar kalau 2 kilo bisa Rp.15.000.00. Tek Biah mau, langsung menimbang, dan memasukkan dalam kantong asoy, segera memberikan pada pemuda tersebut. Setelah pemuda itu menerima….
“Kan ciang kau Mak.” Mandanga tu Tek Rabiah langsuang naik darah, bergegas dia keluar dari belakang meja tempat jualan mendekati pemuda tersebut sambil menceracau.”Apo kato Ang Yuang lah den agiah murah, Ang pacaruik an den,” ‘PLAKK’ tamparan mendarat di muka orang Medan. Temannya membela dengan maksud menjelaskan, tapi yang terdengar di telinga Tek Rabiah, Senewen Mak, maka tak ampun tamparan Tek Biah beralih ke pemuda Jawa tersebut.
            Pemuda Medan pun menerangkan kalau dia diajarkan oleh temannya urang awak,” Kalau jadi Mahasiswa disini harus sopan, harus sering mengucapkan terimakasih. Orang Minang itu asal muasalnya dari Cina, lihat saja pakaian pengantennya mirip dengan Cina begitu juga dengan ilmu bela dirinya. Nah bahasa pun ada mirip-mirip. Kalau orang Cina mengucapkan ‘Terima kasih’ dengan ucapan ‘Kam sia’ maka orang Minang mengucapkan ‘Kan ciang’ makanya tadi…”
“Ha…ha…ha…,dikarajoan nyo dek kawannyo,” pemuda itu melongo, semua penumpang mikrolet tertawa terbahak-bahak, tanpa terkecuali Pak sopir di depan setir, bahkan ada yang sampai keluar air mata menertawakannya. Aku tersenyum geli, tapi juga kasihan dengan keluguan orang Medan ini.
“Bang, kata-kata itu bukan terimakasih artinya, melainkan…”aku ragu-ragu melanjutkan.
“Apa dek? Tolong lah aku,” ucapnya penuh harap.
“Tapi Abang  jangan marah ya?”
“Nggak lah, kamu sudah menolong masak aku marah.”
“Arti kata tersebut dalam Bahasa Medan adalah ‘Puki Mak Kau’ maaf.”aku menutup mulut.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah,” pemuda itu istghfar, aku pun ikut istighfar.
“Kurang ajar si Bahar, ngajari aku yang tidak benar, perkataan kotor yang diajarkan padaku, pantas saja Mak tadi naik pitam, awas besok di kampus. Kukira dia benar-benar mengajari aku Bahasa Minang yang benar,  tapi malah aku di jahili.” Pemuda Medan menggerutu.
“Makanya pakai Bahasa Indonesia saja dulu kalau belum lama tinggal di Minang, karena orang Minang lebih mudah berbahasa Indonesia, karena kata-kata Minang sangat mirip dengan kata Indonesia.” Uni yang berbaju pink di sebelah Mas Jawa ikut berpendapat.
“Misalnya apa Uni?” Si Mas menanyakan contohnya.
“Seperti kata yang kalian ucapkan tadi, dalam Bahasa Indonesia adalah kencing, kencing itu kotor kan? Makanya kalau di ungkapkan dalam percakapan termasuk perkataan caruik atau perkataan kotor.”
“Oh gitu ya Ni,” si Mas dan si Abang mengangguk-angguk seperti burung perkutut.
            Karena peristiwa itu aku jadi  ngobrol kian kemari. Pemuda Medan itu bernama Togar, yang dari Jawa bernama Tejo. Bang Togar dan Mas Tejo ternyata kosnya beda satu gang dengan kosku. Mereka mahasiswa Fakultas Pertanian Unand. Bersebelahan dengan kampusku, IKIP Padang. Kampus kami berada di Air Tawar, kami kos di dekat kampus.
“Eh…eh…siko ciek,” aku sedikit berteriak kepada Pak sopir,  hampir saja terlewat karena asyik ngobrol. Kami merasa senasib karena sama-sama Mahasiswa baru. Kami pun turun dari mikrolet, mengangkat dua karung pisang.
            Mataku sibuk mencari ke kiri-ke kanan dan ke seberang  jalan. Biasanya ada becak di persimpangan jalan ini. Aku tidak kuat membawa dua karung pisang ini ke rumah kos yang lumayan jauh dari jalan raya. Aku duduk di atas karung pisang yang kurebahkan di pinggir jalan. Aku menunggu becak. Aku nggak punya HP untuk menelpon Uda di rumah.
“Hey Ma, kau nggak pulang?” Bang Togar bertanya karena melihat aku duduk saja.
“Duluan aja Bang, Mas, aku menunggu becak.”
“Mana tega Aku meninggalkan gadis manis sendirian di tempat gelap begini.”
“Kita panggul aja karung pisangnya, bagaimana Jo, kamu kuat ya membantu Rahma sampai tempat kosnya.
“Ayo, Insya allah aku kuat Bang, hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih kita dapat teman orang Minang yang baik hati seperti Dik Rahma ini.” Mas Tejo menyanggupi. Mereka langsung mengambil alih masing-masing satu karung pisang dan memanggulnya.
“Bang, Mas istirahat dulu, berat lho.” Aku kasihan melihat mereka berdua berkeringat.
“Ah tanggung, sedikit lagi kan sudah sampai di rumah kau Ma, dan aku bayangkan kau akan sibuk melap keringat Abang kau ni.”
“Ah Abang,  mana bisa begitu. Aku kan sudah punya suami.”
“Jangan bohong pulak kau Ma, kau masih imut begini bilang sudah punya suami. Kalau mau menolak cintaku jangan begitu caranya.” Bang Togar menembakku langsung diantara engahnya.
“Abang kok nggak percaya sih.”
“Coba Tanya si Tejo, dia bisa percaya ndak dengan pengakuan kau itu.” Mataku beralih ke Mas Tejo, yang kelihatan kepayahan memanggul karung pisangku.
“Aku belum bisa percaya Dik, kalau belum lihat suamimu. Kamu masih terlalu imut sih, kita kan sama-sama baru tamat SMA. Kapan kamu nikahnya?”
            Kami berjalan dalam diam, hanyut dengan pikiran masing-masing. Bagaimana perasaan Uda Amri nanti kalau melihat aku diantar 2 anak bujang (pemuda). Apakah dia akan marah? Cemburu? Atau malu, karena membiarkan isterinya yang ke pasar belanja 2 karung pisang yang tentunya sangat berat, bagaimana kalau tidak ada Bang Togar dan Mas Tejo tentu aku masih duduk menunggu becak di pinggir jalan dalam kegelapan. Kami sudah memasuki gang rumahku.
“Belok sini Bang, aku mendahului membuka pagar rumah petak kami.”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Uda Amri membuka pintu lebar-lebar dan kaget ketika matanya bersirobok (bersitatap) dengan dua orang pemuda di belakangku.
“Ini Bang Togar, dan Mas Tejo, Da. Tadi ndak ado becak, jadi Rahma ditolong mereka berdua, mereka kos  di jalan Blang Bintang, tolong layani mereka Rahma ka dalam dulu.”
Aku langsung ke belakang menyiapkan minuman dan makanan untuk penolongku. Aku bolak balik menghidangkan makan malam untuk mereka. Setelah lengkap mereka kupersilahkan makan bersama Uda Amri. Aku kembali ke belakang  membungkus kripik pisang dan peyek kacang untuk mereka bawa ke kosan mereka. Anak kos pasti senang mendapat camilan seperti ini untuk teman belajar. Oh ya aku masih punya simpanan rendang, kubungkus jugalah agar mereka sekali-sekali makan enak, samba lado hijau ku panasi sebentar baru di bungkus. Ku dengar tawa Uda Amri sambil terbatuk-batuk. Aku yakin Bang Tagor cerita peristiwa tadi. Aku keluar sambil membawa dua bungkus plastik besar untuk mereka.
“Bang, Mas, ni oleh-oleh dari kami ya. Nah kalau Abang dan Mas bisa promosikan produk kami ini ke teman-teman nanti kami kasih 20% lah untungnya. Lumayan kan, untuk menambah uang saku? Ya kan  Da?” Aku mengerling Uda Amri.
“Ya sayang.” Ku rasa jemariku diremas lembut dan mata itu penuh cinta untukku.
“Oi …,jangan bermesraan dekat kami lah, aku patah hati ni Da.” Seloroh Bang Togar.
“Kami pamit pulang ya Da, Dik Rahma. Terimakasih pemberiannya, dan peluang usahanya  tidak akan kami sia-siakan.” Mas Tejo pamit.
“Hey Ma, bagaimana pun keadaanmu aku tetap mencintaimu.” Bang Togar ngotot
            Tangan Uda Amri mengejang  dalam genggamanku, dia cemburu berat dengan gaya Bang Togar yang blak-blakan. Aku memberi  isyarat menenangkan suami tercinta. Sementara itu Bang Togar tersenyum menggoda melihat perubahan  wajah Uda Amri.
“Yalah Bang, aku pun mencintai Bang Togar dan Mas Tejo sebagai saudara seiman, kita bercinta tulus karena Allah.” Aku membalas humor Bang Togar dengan senyum manis.
“Yo i, terimakasih Rahma, Uda. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”
 Uda Amri menutup pintu dan langsung menguncinya. Tangan kekarnya memelukku dari belakang. “Ada saja cara Allah untuk memberi kita saudara ya Ma, melalui caruik yang tidak dimengerti kita dapat dua orang saudara yang sangat mencintaimu, sayang” suara Uda Amri menggeram, penuh tekanan, bulu kuduk Rahma merinding. Uda Amri marah. Rahma kaget langsung membalikkan badannya dalam rangkulan Amri.
“Udaaa?” Rahma menatap tepat ke kedalaman mata Amri, disana dilihatnya danau bening dengan riak-riak jenaka, memanggil Rahma untuk berenang dalam palunan kasih. Mata Rahma menelusuri hidung Amri yang mancung, terus ke bawah menemukan bibir merah muda yang melengkung ke atas, siap meledakkan tawa.
“Ah…Uda, membuat orang takut saja.” Rahma mencubit pinggang suaminya dengan manja.
“Aduuuh!” Ha…ha…ha.                                                                                                       

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More