Oleh : Nurjannah Binti Zakaria Balikpapan.
Panas menyengat tak kuhiraukan, aku masih asyik memasukkan tambang emasku ke dalam karung. Ha ha tambang emas kok ke dalam karung. Yah bagiku dan teman seprofesi melihat tumpukan sampah adalah tambang emas. Botol plastik, gelas plastik, kardus kami dulang setiap hari untuk menghasilkan lembaran seribu demi seribu. Aku ingin terus sekolah hanya itu motivasiku.
Alhamdulillah, hasil tambangku hari ini lumayan, karungku sudah penuh. Aku segera menuju ke rumah Bang Juned, aku akan dapat uang Rp.2000 atau Rp.2500, wah tabunganku akan bertambah terus. Kalau aku rajin setiap pulang sekolah siang hari dan sepulang ngaji sore, aku yakin uang untuk sekolah di SMP bisa ku dapatkan.
Sekarang sekolah kan gratis. Ya, tapi seragam, sepatu, buku dan tas tidak gratis. Pernah ku dengar ibu-ibu tetangga ngomong, paling tidak untuk anak baru masuk sekolah butuh uang minimal Rp.1,000.000, uang satu juta itu kayak apa ya.
“Ah masak kamu gak tahu, lembaran seratus ribunya ada 10, atau lembaran lima puluh ribunya ada 20, De…De… kamu kan udah kelas VI, masak gitu aja gak tahu,” kata Bagas ketika itu.
“Oh ya kok bodoh aku ya Gas,” aku tersenyum kecut. Ketika itu aku dan Bagas membahas soal-soal ujian tahun lalu yang diberi ibu guru untuk melatih kami agar ketika ujian kami tidak bingung. Bagiku uang Rp.50.000 masih langka. Ibuku buruh cuci harian. Sehari Ibu dapat Rp.15.000 sampai Rp.20.000, itupun kalau ada yang butuh tenaga Ibu. Kalau tidak yah kami harus menahan lapar. Ayah…? aku tidak mengenal sosoknya.
“Hai De, cepat bawa sini karungnya mau di timbang nggak,” suara Bang Juned mengejutkanku.
Aku segera menghampiri Bang Juned. Bang Juned menukar karungku dengan karung kosong dan uang Rp.2500. Alhamdulillah kalau nanti sore aku dapat seperti ini lagi tabunganku semakin banyak.
Aku nggak pulang ke rumah karena aku sudah janji untuk belajar di rumah Bagas. Ujian Nasional semakin dekat. Aku harus rajin belajar, agar dapat nilai bagus dan masuk SMP Negeri. Alhamdulillah pemerintah menyediakan sekolah gratis. Kalau nggak tentu aku nggak bisa sekolah.
Tadi pagi aku sudah bilang pada Ibu bahwa aku akan belajar di rumah Bagas langsung ngaji di musholla terus bekerja lagi mengais rezeki untuk menambah tabunganku.
Hanya Bagas yang mau berteman denganku di sekolah. Karena kata mereka aku bau. Yah aku memang bau, aroma sampah lengket di badanku. Kadang di rumahku gak ada air, karena beberapa bulan ini air di komplek kami sering mati dan ibu gak sanggup beli air tanki. Jadi kadang dalam sehari aku nggak mandi. Lengkap sudah penderitaanku, aku tercemar bau sampah. karena aku bekerja di tempat sampah, terus nggak mandi pula iih bau banget.
“Ih jijay…,” teman-temanku pada menghindar sambil tutup hidung.
Hanya Bagas yang tahan dekat denganku. Kalau aku di ajak belajar ke rumahnya, hm bagiku itu nikmat yang sangat luar biasa. Bayangkan …,kalau aku di rumah Bagas aku di suruh mandi, lalu dipinjami baju yang sangat wangi, terus aku dikasih makan pula.
Subhanallah hanya Allah yang bisa mambalas kebaikan Bagas sekeluarga padaku. Mereka bukan orang kaya, tapi mereka kaya hati. Dalam kesederhanaan pun mereka bisa berbagi padaku. Dari tempat Bang Juned aku melangkah dengan semangat menuju rumah Bagas.
Wangi melati yang merimbun di pagar rumah Bagas, ditingkahi keindahan mawar dengan aroma menggoda, bougenvil yang ditata seperti layaknya pengawal, tegak perkasa di kiri kanan teras menyambut kedatanganku, pintu kuketuk.
”Assalamu’alaikum,“ aku menunggu sambil memenuhi rongga dada dengan udara segar. “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, eh kamu De…Ayo masuk,” Bagas membuka pintu lebar-lebar, langsung menuju ruang tengah. Aku menutup pintu kembali dan mengekor di belakang Bagas. Bagas langsung membuka soal –soal ujian tahun lalu, soal pelajaran Agama Islam.
”De, bisakah kamu menerangkan bukti kegigihan kaum Muhajirin.”
“Insya Allah, gini Gas…Kaum Muhajirin adalah umat Islam pertama yang kuat imannya, mereka rela meninggalkan kampung halamannya, semua harta kekayaan dan semua kepentingan mereka dengan ikhlas, demi keyakinan aqidahnya, mereka tidak menghiraukan ancaman yang mungkin menghadang di tengah jalan karena keimanan mereka yang teguh.”
Bagas mendengarkan dan menulis jawabannya di buku. Dia membalik kertas soal yang tidak bisa dijawabnya sendiri.
“Soal selanjutnya, Apa yang dikerjakan kaum Anshor dan Muhajirin setelah hidup bersama di Madinah?”
Aku mencoba mengingat-ingat keterangan Pak Sahid, guru Agama kami. Ha …aku ingat. “Pertama membangun masjid, terus menjamin kemerdekaan beragama, mengadakan perjanjian persahabatan dengan kaum Yahudi, dan menyusun pemerintahan.”
Kami terus membahas soal demi soal, tenggelam dengan asyik mengerjakannya tanpa menyadari kedatangan Bu Ani ibunya Bagas. Beliau membawa 2 gelas es sirop dan kue.
“Silahkan minum De, cicipi kuenya. Kuenya Ibu buat sendiri lho.” Aku mengerling Bagas.
“Terimakasih Bu, tambah semangat kita belajar nih Bu.” Aku segera meraih sirop langsung minum dengan nikmat. Bu Ani tersenyum dan berlalu ke dapur. Bagas juga meraih minumannya.
Kami kembali melanjutkan belajar, tanpa terasa waktu berlalu sayup-sayup terdengar azan Asar. Aku pun bergegas membereskan buku dan pamit ke Bagas dan Ibunya karena aku harus mengaji di Musholla Al Ihsan di komplek rumahku.
Sepulang mengaji di musholla aku siap mengais rezeki, berkeliling komplek mencari botol plastik yang berserakan, kertas, kardus-kardus. Hari ini aku bertekad aku tidak akan pulang sebelum karungku penuh. Mataku selalu awas kiri kanan. Tak boleh satu gelas aqua pun yang luput dari incaranku.ketelitianku menentukan masa depanku. (ceilah)
Kaki lelahku mendekati rumah, diiringi azan magrib. Pintu rumahku masih terbuka. Aku bengong, rumahku kok apik ya. Kok ada karpet terbentang menutupi lantai kasar rumahku. “Assalamu’alaikum,”ucapku dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya.
“Wa’alaikum salam,” Ibu menjawab dengan tanganya masih sibuk mencuci piring.
“Makan dulu aja ya De, agar sekalian selesai beres-beresnya.”
“Habis pesta ya Bu?” mataku terbelalak melihat hidangan yang lengkap lauk pauknya dan ada 2 jenis kue kesukaanku, ote-ote (bakwan atau bala-bala) dan dadar gulung.
“Bukan pesta tapi yasinan,” jawab ibu tanpa menghentikan tarian jemarinya di piring-piring kotor.
Aku langsung melahap ote-ote sambil menyendok nasi ke piring, mencomot ayam goreng dan tahu bacem, serta menuang sayur gori ke piringku, tak ketinggalan kerupuk udang kuambil dengan rakus, lengkap kap kap, aku pun makan dengan sangat nikmat, dan penuh rasa syukur. Selesai makan aku langsung sholat magrib, kali ini aku nggak ke musholla. Terlambat.
“Bu, tabunganku ibu pindahkan ya?”, aku bertanya sambil terus mencari mungkin tadi aku lupa menarok di tempat biasa.
Aku berjongkok mencari di bawah lemari, mungkin saja jatuh, nggak ada. Aku menyuruk ke kolong tempat tidur, merangkak dari pojok ke pojok yang penuh debu, nggak ada juga. Tanganku menyeka keringat yang bercampur debu, keluar dari kolong.
Kelelahanku terasa memuncak karena dari pagi belum istirahat sedikit pun. Semangatku yang membuncah untuk mengumpulkan ribuan demi ribuan. Satu juta … mampukah tangan kecilku ini mengumpulkan uang sebanyak itu. Ku sandarkan punggung ke dinding kasar rumahku.
Aku tak habis pikir, kok bisa hilang ya tabunganku, padahal tadi pagi aku masih mengusap tabunganku sambil berdoa pada Allah, ”Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk memulung segala macam plastik dan kertas kardus agar bisa ditukar dengan uang yang akan hamba kumpulkan untuk biaya sekolah SMP nantinya, hamba yakin Engkau akan mengabulkan. Karena tujuan hamba mulia, menuntut ilmu adalah perintahMu.”
Ibu yang dari tadi tidak merespon pertanyaanku, karena masih sibuk membenahi dapur dan menunaikan shalat magrib yang sudah sangat terlambat, sekarang duduk di sampingku dengan mukena masih terpasang. Mungkin tanggung untuk di buka karena sebentaar lagi azan Isya akan berkumandang. Ku rasa tangan ibu memegang pundakku.
”Maaf ya De, uang tabungan Dede ibu pinjam untuk Yasinan tadi,…nanti ibu ganti kalau ibu punya uang.”
“Apaaa? Tabungan yang kukumpul sejak naik kelas V tahun lalu habis dalam satu hari ?”
Perutku rasanya diremas-remas, kepalaku rasanya di himpit batu-batu besar, airmataku berpacu, berlompatan keluar tak terbendung.
“Bu, aku mau berlelah-lelah mengais sampah agar bisa mengumpulkan selembar demi selembar uang ribuan hanya karena aku ingin tetap sekolah, aku tidak ingin memberatkan Ibu yang sudah susah payah bekerja untuk sesuap nasi, tidak banyak keinginanku , kalau aku berilmu aku bisa kerja yang bisa menghasilkan uang yang banyak dan aku bisa menyenangkan Ibu nantinya, aku ingin berbakti Bu,” ratap panjangku menggugat Ibu.
“Bu, kapan Ibu bisa mengganti tabunganku Bu? padahal untuk makan aja Ibu sudah susah payah mendapatkannya,” pertanyaanku menyangsikan kemampuan ibu.
”Bulan depan aku sudah ujian Buu, setelah itu harus mendaftar supaya dapat sekolah di SMP, apakah Ibu bisa mendapat uang Rp.1.000.000.00, dalam waktu sebulan setengah ini Buu,”aku terus menceracau dan tergugu.
Aku tak bisa menahan air yang berlompatan, membanjir dengan derasnya membobol asa yang menjulang. Terngiang di telingaku kembali ceramah Ustadzah Hasanah sa’at Ta’lim di Musholla Al Ihsan.
“ Yasinan itu tidak wajib bahkan cenderung haram karena adab baca Al qurannya tidak benar, berpacu membaca bersama tanpa peduli panjang pendek, tanpa peduli salah betul, padahal yang diperintah Allah adalah membaca Alquran dengan tartil, benar tajwid dan makhrojnya begitu juga selamatan, nujuh bulanan bahkan perayaan maulied Nabi pun tidak ada perintahnya dalam ajaran Islam.”
Saat itu Ustadzah Hasanah juga menerangkan bahwa peringatan Maulid Nabi itu pencetusnya adalah kelompok bathiniyah yang berkedok Fatimiyun dengan pemimpinnya ‘Ubaidilah bin Maimun Alqodah, Majusi yang ingin merusak Islam dari dalam.
Mengapa bisa merusak? Karena kalau Umat Islam sibuk dengan perayaan-perayaan maka mereka lalai dengan Ibadah yang sesungguhnya. Bahkan sebagian umat Islam yang Duafa akan terzalimi karena menganggap perayaan itu ibadah, mereka memaksakan diri. Apakah Ibu tidak ingat, padahal Ibu hadir ta’lim saat itu.
“Mengapa Ibu mengorbankan masa depanku hanya untuk hal yang tidak diwajibkan Allah?” hujatku dengan ratap pilu, air mata telah membasahi baju lusuhku, perutku semakin mulas, makanan enak sekejap, bisa membuat masa depanku kelam,…buram, ooh kepalaku semakin sakiiit. Bagaimana caraku bisa mendapat uang sebanyak itu, dalam waktu yang sangat singkat ini. airmataku tidak bisa berhenti.
“Maafkan Ibu nak, Ibu gak enak sama tetangga, karena hanya Ibu yang belum dapat giliran di komplek kita ini, Ibu-Ibu lain ada yang sudah 3 kali bahkan ada yang sudah 4 kali ketempatan.”
Aku tak peduli dengan ungkapan maaf Ibu yang diucapkan dengan bibir bergetar dan wajah pucat pasi, karena aku sudah tidak tahan dorongan dari perutku untuk memuntahkan semua isinya, uek..uek..ueek,…uueeeeek,…. semua makanan berhasil keluar dengan mulusnya sampai cairan kuning di lambungku pun ikut, menyisakan perih yang teramat sangat, tenggorokanku sakiiit sekali kulihat dinding kamar mandi berputar - putar dalam mata buramku semakin lama semakin kencang, auu …kepalaku, aku sempoyongan memegang kepala yang dipalu godam…duk kepalaku terbentur dinding dan tubuhku melorot.
“De...De...Deee, kamu kenapa nak?” terdengar suara panik ibu semakin sayup, semakin jauh, semakin hilang, semakin gelap.